Kasus Diego Mendieta, Potret Kecil Buruknya Sepak Bola Indonesia

| 5 Des 2012
Kematian memang bisa menjemput manusia kapan saja tanpa pernah bisa diduga. Namun demikian, kematian tragis Diego Mendieta patut disesalkan. Mantan pemain Persis Solo asal Paraguay itu menghembuskan napas terakhir dalam kesendirian dan ketidakadilan.

Hingga ujung hayat, Diego masih belum menerima gaji selama empat bulan sebesar Rp120 juta. Hak yang tak terbayarkan ini meninggalkan keprihatinan mendalam. Inilah puncak gunung es karut-marutnya tatanan sepak bola Indonesia.

Bukan rahasia lagi bahwa banyak pemain di kompetisi Indonesia yang belum menerima gaji — baik itu di LSI (versi KPSI) maupun LPI (versi PSSI). Penyebabnya? Ketidakbecusan pengelola sepak bola di negeri ini.

Di Indonesia, kompetisi level negara nyaris tak berbeda dengan turnamen antarkampung. Maklum, tak pernah dibangun berdasarkan studi kelayakan. Tidak ada riset dan kalkulasi berapa biaya minimal yang harus dikeluarkan sebuah klub untuk ikut kompetisi. Akibatnya, tidak ada kejelasan dari mana saja klub seharusnya menggali sumber dana.

Selanjutnya, tak diketahui daerah mana yang pantas menyelenggarakan kompetisi di lapis satu-dua-tiga-dan seterusnya. Tidak pula diperhitungkan apakah kota tertentu memiliki daya beli tiket dan suvenir klub. Tak ada pula aturan tentang siapa yang berhak punya klub dan tak ada aturan kepemilikan saham. Tak ada panduan bagaimana dan oleh siapa semestinya klub dikelola, bagaimana keamanan kompetisi diurus, bagaimana klub diberi kompas untuk menjaring dana/sponsor.

Ini semua tak pernah jelas.

Mungkin Indonesia satu-satunya negara besar di dunia dengan kompetisi (yang katanya profesional) tanpa fondasi yang kuat, bagus, baik, dan benar. Padahal, selain sebagai industri hiburan, kompetisi profesional juga berfungsi sebagai muara pembinaan sepak bola sebuah negeri. Tapi sepertinya di Indonesia, kedua fungsi ini diabaikan.

Pendeknya, kompetisi Indonesia tak punya desain besar. Andai ada, itu cuma macan kertas. Prinsip "pokoknya jalan" menjadi kunci. Itulah sebabnya konfigurasi jadwal pertandingan pun belang bonteng. Masa kompetisi dari musim ke musim selalu tak jelas. Rencana dibuat parsial. Sanksi dan aturan bisa direkayasa kapan saja sesuai kepentingan. Kompetisi amburadul.

Dari sini, kita tidak heran lagi bila klub bergerak liar (misalnya dengan membeli pertandingan dan bahkan gelar juara). Kita juga tidak heran bila kompetensi wasit amatlah rendah. Wasit tidak becus, wasit mudah “dititipi”, juga wasit yang jadi bulan-bulanan pemain karena sering menghadiahkan penalti di menit-menit terakhir suatu pertandingan.

Kita juga tidak heran bila tiada standar kualitas pemain, maklum yang memilih pemain adalah pengurus klub (bukannya pelatih). Padahal para pemain ini ujung tombak kompetisi kasta tertinggi dengan putaran uang ratusan miliar rupiah.

Uang itu seperti dibakar tanpa ada hasil yang bisa dibanggakan. Yang muncul justru masalah demi masalah mendasar.

Kompetisi profesional bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dalam sistem sepak bola sebuah negara. Dia hanyalah puncak piramida pembinaan. Tentu saja kompetisi puncak membutuhkan topangan dari bawah. Fondasi harus kuat. Tatanan harus jelas. Dengan sebuah piramida, pengelola dan pelaku sepak bola menjadi paham di mana peta mereka dan ke mana tujuan. Tanpa itu semua Indonesia menjadi sulit dan mungkin tidak akan pernah berprestasi.

Memang Indonesia pernah juara SEA Games 1991, meski belum punya piramida pembinaan. Tetapi itu 21 tahun yang lalu. Kini dunia sudah berubah. Sepak bola dan pengelolaannya berevolusi tanpa henti. Indonesia tidak bisa hanya bermodalkan romantisme, mengenang kejayaan masa lalu, seolah-olah dunia tidak bergerak.

Indonesia juga tidak bisa naif menyalahkan konflik PSSI-KPSI sebagai biang keladi kegagalan. Betul, konflik memang menyebabkan tim nasional tidak diperkuat pemain terbaik. Tetapi tanpa konflik pun kita sudah kesulitan berprestasi. Ingat, pada Piala AFF 2010 kita juga gagal juara.

Sudah saatnya PSSI membuat cetak biru piramida pembinaan dan pengelolaan sepak bola. Membuat liga berjenjang yang dijalankan dengan teratur dan konsisten adalah syarat mutlak. Berbagai lapisan kompetisi itu akan melahirkan pemain dalam jumlah besar dari tahun ke tahun. Dia juga akan membutuhkan panitia pertandingan dalam jumlah banyak. Dia pun akan memerlukan kurikulum sepak bola.

Sudah saatnya pula PSSI membenahi dan menyusun ulang konsep kompetisi profesional di negeri ini. Jangan lagi hanya mengandalkan prinsip parsial dan asal jalan saja. Perhitungan hak dan kewajiban setiap pelaku dalam bungkus industri menjadi penting. Jangan biarkan lagi klub amatir dan sumber dana tak jelas bisa mudah ikut liga.

Jangan lagi ada pemain yang bayarannya macet. Jangan lagi ada pertandingan yang berubah jadi pameran jurus pencak silat. Jangan lagi ada wasit yang berfungsi ganda (terima titipan duit, juga terima bogem mentah pemain).

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah di blog ini dengan cerdas

Next Prev
▲Top▲